Minggu, 23 Mei 2010

Sang Panglima

* kepada: HM. Muzammil Basyuni

memasuki kota Damaskus Tua,
aku disambut hiruk-pikuk pasar Hamidiyeh dan
deru mesin-mesin genset kios yang menderu
lantaran padam gilir listrik menggulirnya

tiba-tiba aku disedot lorong waktu,

di ujung lorong kulihat aura magis,
di ujung lorong kudengar deru lain,
deru derap kuda perang berlari kencang
meninggalkan kepul debu beruntaian

sang penunggang,
lelaki perkasa yang baju perang, tameng,
dan pedangnya adalah iman membaja
lelaki perkasa yang gemerincing baju perangnya
terus berpantulan pada dinding-dinding sejarah
lelaki perkasa yang kibas dan kilap pedangnya
menyilau laskar salib hingga lunglai
lelaki perkasa yang teguh imannya menegak panji
membakar semangat laskarnya dengan barzanji

tetapi, wahai
sesungguhnya sang perkasa
tak sedang bergegas ke medan tempur untuk membinasa

lihatlah sang perkasa menanggalkan
baju perang, tameng, dan pedangnya
lalu menukar itu semua dengan gamis sahaja saja
lalu samar laksana tabib menelusur resah laskar salib
dijumpainya panglima salib yang lunglai pasi dalam sakit
: lalu sembuh maka sembuhlah

tetapi, wahai
bertanya panglima musuh pada sang tabib sahaja
dari mana gerangan asalmu, tabib penyembuhku?
: atas kehendak Allah, tuan sembuh

aku lahir di Tikrit, berasal dari kedamaian dan cinta
: aku Shalahuddin Al-Ayyubi

Damaskus, 08.09

Sketsa-Sketsa Kota Damaskus

(1)

dari sebuah kolong jalan layang kota Damaskus
kutatap kota yang terus merayapi lembah,
membungkus bukit Qasyun

batu-batu kota baru mengucap salam perpisahan
pada batu-batu kota tua yang menggelugur oleh usia
dan beradaban yang membuat mereka gerah pada farwa

(2)

di belakang, sebaris lelaki renta badui arab
menggulir tasbih lapuk nasib mereka
di hadapan, penjaja kupon undian berhadiah
nyalang tawarkan mimpi tentang nasib baru

(3)

dalam ketukan kuda gurun
pada belitan lempeng logam yang membebat
penjaja tammer hindi menggendong teko,
mempermainkan air dengan gelas yang dahaga
: kami berdagang dan diperdagangkan

(4)

dari leher bukit Qasyun
memandang hamparan kota

pada siang,
tanah bebatuan sewarna kopi susu
membentuk kardus tumpang-susun
serupa kandang merpati

pada malam,
karpet beludru pekat disulam beribu menara masjid
bermote kerlip lampu bagai rasi
menggores liuk imaji kaligrafi

dari leher bukit Qasyun
: Damaskus memandangi dirinya sendiri

Damaskus, 08.09 – Serpong, 09.09

Suatu Malam di Bukit Qasyun; Anggap Saja

di sisi jalan berbedeng pada lereng bukit Qosyun
- sembari menikmati panorama malam kota Damaskus
sekerumunan orang merampak dalam tepuk dan senandung
ditingkahi gambus dalam petikan sumbang

anggap saja syairnya terdengar begini;

lihatlah bulan sepotong seperti gadis
yang urai rambutnya menutup separuh wajah,
sibaklah sebagai engkau telah membuka hijabmu

lihatlah kota Damaskus bermandi cahaya,
meski sebagian berlilin digilir padam

lihatlah bulan sepotong seperti gadis
yang urai rambutnya menutup separuh wajah
dalam musim panas tiga purnama
mari berkumpul di taman-taman kota
di bawah bulan merah saga

anggap saja
: aku cakap bercakap arab

Damaskus, 08 . 09

Tiin dan Zaitun

aku mencecapmu di sini, di Damaskus
: kaliankah itu dalam kitab suci?

bertanyalah pada ahli tafsir
lalu maknai manis dan getir hidup ini,
: katamu.

Damaskus, 08.09

Autobiografi

seseorang menilasi sejarahnya sendiri
bersama buku harian bersawan
yang lembar-lembarnya penuh catatan
yang ditulis dengan pena tak berdawat

ia merinding
membaca neraca utang - piutangnya
pada sang cukong
: kehidupan.

Serpong, 08.09

Surat Cinta

seseorang mengirim surat cinta dengan ludah
pada perangko dan bibir amplop
-agar benar benar personal, baginya-

sembari ia menelan sisa ludahnya yang lain,
seperti ia menyimpan sisa asa
pada penantiannya nan panjang.

Serpong, 08.09